Pages


Senin, 20 Desember 2010

Our Future Stil Continue Chapter 70: 30 Paces




Keesokan harinya.
Pagi Hari
Istana Ungjin, Baekje.
Daemusin sedang membereskan buku-buku yang akan dibawanya. Ia meminta kepada Raja Uija  agar diizinkan untuk pindah ke Benteng Chuseon,  untuk mengawasi pelatihan para calon prajurit Baekje di sana. Dan Raja Uija pun mengizinkannya “hamba mohon menghadap Tuan Panglima..” ujar seseorang dari balik pintu. “masuk..”  Daemusin mengizinkan. “sraak..”  seseorang melangkah masuk dan memberi hormat “ah..Pejabat Lee..ada keperluan apa kau datang ke sini?” ujar Daemusin yang masih sibuk mengemasi barang-barangnya. “saya kurang paham dengan rencana mendadak Tuan pindah ke Benteng Chuseon..bukankah kita berencana melakukannya langsung dari sini…apakah Tuan berubah pikiran?” tanya Pejabat Lee ragu-ragu. Daemusin tersenyum kecil  “kau meragukanku ya?kau takut aku diam mencurangimu dan mengambil semua pasukanmu yang sekarang ada di bawah komandoku?” tanyanya sambil menatap Pejabat Lee. “bu..bukan begitu…hanya saja saya dan bangsawan lain tidak mengerti mengapa tiba-tiba Tuan pindah ke sana..” “hmm…sekarang Baekje kondisinya sudah berubah..ada cukup banyak rakyat yang ternyata sudah merasa cukup puas dengan kondisinya yang sekarang ..mereka menyukai kebijakan Raja yang sekarang untuk berhenti berperang..dan ini sangat berbeda dengan Rakyat Baekje yang dulu terkenal akan ketrampilan pandai besinya dan pasukan berperangnya..sekarang gelar itu sudah diambil Tang dan Shilla…oleh karena itu aku akan mengembalikan kejayaan Baekje…” Melihat raut wajah Pejabat Lee, Daemusin tahu bahwa ia pasti belum mengerti juga. “jika aku berada di sini saat rencana yang kita buat dilaksanakan, para pendukung Raja pasti akan mencurigaiku..dan meminta rakyat untuk bangkit dan melawanku..oleh karena itu aku pindah ke Chuseon..kuserahkan segala rencana di sini ke tanganmu dan pejabat lain dan aku yang akan mengatur rencana di Chuseon....apa kau mengerti sekarang?”  Akhirnya muncul secercah harapan di wajah Pejabat Lee, ia pun mengangguk “saya mengerti Tuan..”  “bagus..kalau begitu segera sampaikan hal ini kepada bangsawan lain..”  Pejabat Lee memberi hormat “baik..Tuan..” lalu melangkah keluar, meninggalkan ruangan. Daemusin hanya tersenyum sinis menatap punggung Pejabat Lee “lebih baik kau di sini, daripada kebodohanmu mengganggu rencananku selanjutnya…”

Jalur Taegu-Kumi.
“hiaa..” Bi Dam memacu kudanya menerobos pos pemeriksaan Kota Taegu yang dijaga oleh prajurit. “hei!!kau!!” teriak para prajurit itu sambil berlari mengejar Bi Dam. Alcheon menghentikan kudanya di depan para prajurit itu “ia adalah orangku..” sambil menunjukkan lencana perak miliknya . Sebuah lempengan perak berbentuk persegi panjang yang menunjukkan bahwa dirinya adalah Siburyeong. Setiap pejabat memiliki itu dan berbeda disesuaikan dengan tingkat jabatannya. “Tu..Tuan Kepala Pengawal Istana..” ujar para prajurit itu tergagap sambil memberi hormat. Alcheon pun kembali memacu kudanya, mengejar Bi Dam yang sudah pergi cukup jauh.

Siang hari
Ruang Kerja Raja, Istana Ingang.
“Perdana Menteri Kim Yong Chun mohon menghadap Yang Mulia..” seru seorang kasim dari balik pintu. “masuklah..” jawab Yang Mulia. Kim Yong Chun lalu melangkah masuk dan memberi hormat “apakah kedua surat itu sudah dikirim?” tanya Yang Mulia. “sudah Yang Mulia dengan kurir tercepat milik Kerajaan…saya pastikan surat itu tiba di tangan Bangsawan Alcheon atau Bangsawan Bi Dam dan Panglima Yushin..”  jawab Kim Yong Chun yang sekarang duduk di samping kanan Yang Mulia. “Paman..aku tak tahu mana yang lebih buruk…kejadian yang menimpa Putri Deok Man atau Perang yang akan dihadapi Shilla…sepertinya harapan Putri Huang Shi agar bisa menolong keduanya tidak terkabul..” “Yang Mulia janganlah bersikap pesimis seperti itu..di atas kertas mungkin  Yang Mulia kehilangannya, namun kehendak Tuhan tak ada satu pun yang tahu…yang bisa Yang Mulia, saya dan pejabat lain lakukan adalah berharap agar Bangsawan Bi Dam dan Bangsawan Alcheon memastikan bahwa Tuan Putri Deok Man masih hidup..” Yang Muia Raja hanya terdiam saja mendengarkannya. “maafkan saya jika saya telah lancang Yang Mulia..” “tidak Paman..justru aku yang berterima kasih atas nasihat Paman..” jawab Yang Mulia Raja sambil tersenyum simpul menatap pamannya.

Keesokan harinya.
Siang hari.
Perbatasan Shilla- Baekje.  (30 KM dari Hwangsanbeol, 7 KM dari kota Taejon)
“kalian mau sampai kapan diam membatu seperti ini?” bentak salah satu komandan bawahan Baek Ui sambil mencambuk tanah dengan cambuknya. Namun kelompok yang terdiri dari 3 wanita, 4 pria termasuk anak-anak dan lanjut usia ini  yang Baek Ui tahan ini hanya diam. “argh..jika kita tidak menyiksa mereka bagaimana mereka mau mengakuinya?” keluh salah satu prajurit yang menjaga para tahanan itu. Berbeda dengan hukum militer yang berlaku di Baekje dan Goguryeo, Shilla di bawah pemerintahan Ratu Seondeok membuat aturan untuk tidak menyiksa atau menyerang anak-anak, wanita, dan orang tua. Meskipun ada beberapa kalangan yang menilai bahwa kebijakan tersebut dinilai menambah kesulitan para prajurit untuk menyelesaikan perang atau menginterogasi lawan, namun di bawah pemerintahan Ratu, para hwarang, mata-mata, dan prajurit Shilla semua mematuhi aturan itu sampai sekarang. Baek Ui pun masih sibuk memeriksa barang-barang yang berhasil ia sita. Puluhan pedang dan perisai tersimpan rapi dalam gundukan jerami. Untung saja telinga tajamnya berhasil menemukan suara ganjil dari tengah jerami ini. Suara besi-besi yang beradu seperti berada di tmpat penempaan, padahal gerobak tersebut seharusnya hanya berisi jerami dan dibawa oleh penduduk sipil. “dari pedang-pedang ini tercium bau darah..apakah kalian habis membunuh seseorang?” tanya Baek Ui.  Para tahanan itu hanya diam. “jawab!!!” bentak prajurit penjaga. Namun lagi-lagi  tak ada jawaban. Baek Ui pun mengambil sebuah pedang dan megeluarkannya dari sarungnya. “ada kalanya peraturan harus dilanggar untuk mengetahui sesuatu yang sangat penting…” ujarnya sambil berjalan mendekat “Tuan..apa yang akan tuan lakukan?” tanya salah satu prajurit yang merasa merinding, melihat sorot mata Baek Ui yang tampak kejam. Baek Ui berhenti di hadapan seorang kakek tua yang duduk terikat bersama cucu perempuannya. “kurasa tak akan ada masalah jika aku membunuhnya, jasa-jasaku terhadap negeri ini lebih besar daripada hukuman yang kutanggung.. jadi kurasa  aku bisa memulainya dari yang lebih tua..mungkin dengan begini, ia akan segera masuk nirwana..” Baek Ui mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, lalu mulai menganyunkannya. “jangaaaan!!!”

Perbatasan Wonju. Kamp Militer Shilla.
“sraak..” Wolya menyibakkan  tirai kemah dan melangkah masuk dengan buru-buru. “ada apa Wolya?apa ada kabar penting?” tanya Yushin yang sedang membaca laporan. “lebih dari penting..dugaanmu benar…Pasukan Wa tak ada di benteng itu..dari 30.000 pasukan yang tersisa di sana hanya tinggal 1000..” Yushin pun tersentak mendengarnya “apa?”  Wolya hanya mengangguk. “lalu pakah mata-mata berhasil menyelidiki kemana perginya?”  “belum..mereka belum berhasil..sepertinya yang dikirim tiba ke benteng itu tidak sesuai dengan jumlah yang diterima di pelabuhan.. atau apa jangan-jangan mereka mengirim pasukan Wa untuk menyerang kita dari wilayah lain..” “kurasa tidak.. aku sudah meminta para Jenderal di setiap benteng yang dekat dengan perbatasan atau markas militer Goguryeo untuk bersiaga dan terus mengawasi …jika memang itu terjadi pasti mereka sudah melapor…30.000 orang bukanlah jumlah yang sedikit.." jawab Yushin. Mereka berdua pun terdiam memikirkan masalah itu. “kemana perginya 30.000 orang itu?” pikir mereka. “Komandan Go Do mohon menghadap Panglima..” seru Go Do dari balik pintu kemah. “masuklah..” jawab Yushin.  Go Do diikuti seorang kurir kerajaan melangkah masuk dan memberi hormat. “Panglima, ada surat untukmu dari Yang Mulia Raja..” ujar Go Do. “dari Yang Mulia Raja…” tanya Yushin bingung. “ya Tuan..saya diminta Yang Mulia Raja untuk mengantar sendiri surat ini kepada Tuan langsung..” ujar kurir tersebut sambil menyerahkan sebuah gulungan yang tersegel. Yushin memeriksa gulungan itu dan menemukan stempel kerajaan di gulungan itu lalu mulai membuka segelnya dan membacanya. Ia pun tercengang begitu membacanya “Wolya..kurasa aku tahu kemana 30.000 prajurit itu pergi..” sambil menyerahkan gulungan yang dibacanya kepada sahabatnya itu. “jika ini salinan dari surat Putri Huang Shi untuk Bi Dam mengapa Yang Mulia yang mengirimkannya?mengapa bukan Bi Dam yang mengirimnya?” Yushin pun mengajukan pertanyaan kepada kurir itu “Mengapa Yang Mulia Raja yang mengirim surat ini? seharusnya surat ini Tuan Perdana Menteri Bi Dam yang mengirimkannya?apakah Tuan Perdana Menteri sedang sakit atau pergi?” “Tuan Bangsawan Bi Dam bersama Tuan Bangsawan Alcheon sedang melakukan tugas mata-mata dari Yang Mulia Raja…dan sementara ini kedudukan Sangdaedeung dan Siburyeong  dipegang oleh Tuan Perdana Menteri Kim Yong Chun Tuan Kepala Pengawal Baek  Jong..” Yushin dan Wolya terkejut mendengarnya. “apa kau tahu dimana mereka ditugaskan?” tanya Yushin. “maaf Tuan..hamba tidak mengetahuinya..” Yushin pun terdiam berpikir “jika Bi Dam dan Alcheon sampai turun tangan berarti ada sesuatu yang penting terjadi…” “baiklah kalian boleh keluar..” ujar Wolya kepada Go Do dan kurir itu “baik..” jawab Go Do dan kurir itu serempak memberi hormat. “kurasa tak mungkin Bi Dam meninggalkan kedua anaknya jika ini adalah hal yang benar-benar penting dan darurat..apalagi jika sampai digantikan itu artinya ia akan pergi cukup lama..atau jangan-jangan sesuatu terjadi pada..” “Yushin..” suara Wolya menyadarkan lamunannya . “ya..” jawab Yushin. “apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya sahabatnya itu. Yushin pun berbohong “tidak..aku hanya  memikirkan strategi selanjutnya..kurasa kita harus mengadakan rapat segera..tolong kau kumpulkan para jenderal di sini..” “baik..” jawab Wolya lalu pergi keluar dari kemah. Pikiran Yushin pun melanjutkan asumsinya tadi  “jangan –jangan sesuatu terjadi pada Tuan Putri.. ” tiba-tiba ia menggelengkan kepala “tidak..tidak…jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi..ada apa dengan diriku ini mengapa aku terus mengkhawatirkannya?seharusnya aku sudah melupakannya..Tuan Putri Deok Man…”  

Jalur Kumi - Taejon, Shilla.
“hiaa..” Bi Dam memacu kudanya semakin cepat dan cepat. Langit mendung rupanya membuat jalanan lebih lengang karena orang-orang tak ingin kehujanan. “tes..tes..tes..” rintik hujan mulaiturun membasahi kota Kumi, tidak peduli dengan licinnya jalan, Bi Dam terus memacu kudanya. “Bi Dam!!hujan akan turun semakin deras!!jalanannya licin jangan paksakan dirimu!!” teriak Alcheon yang sekarang berhasil menyamakan jaraknya dengan Bi Dam. Namun Bi Dam hanya diam tak peduli, ia malah semakin memacu kudanya lebih kencang lagi. Setelah melewati kota Kumi, mereka berdua memasukki jalur menuju kota Taejon. Di kedua sisi jalan, terdapat rombongan beberapa pedagang dan penduduk yang melakukan perjalanan, mereka semua duduk berteduh di bawah pohon sambil melihat pemandangan balap kuda antara Bi Dam dan Alcheon. “dimana mereka?” pikir Bi Dam sambil melihat sekeliling, lalu dilihatnya dua orang prajurit berdiri berteduh di bawah pohon di sisi kanan jalan. “ini tempatnya..”  pikir Bi Dam. Ia pun mengarahkan kudanya untuk belok ke kanan. “hei!!!berhenti!siapa kau!!” teriak kedua prajurit itu sambil mengejar Bi Dam. Namun Bi Dam tak peduli. Ia memacu kudanya sampai ia tiba di depan sebuah gubuk yang dijaga oleh para prajurit. Melihat ada orang asing datang, para prajurit segera bersiaga dengan tombak mereka. Salah satu dari mereka pun maju menghadap Bi Dam,”maaf Tuan..anda tak bisa beristirahat di sini..”  Bi Dam pun segera turun dari kudanya lalu merogoh saku dalam bajunya, kemudian menunjukkan lencana emas miliknya. Lencana emas yang menunjukkan bahwa ia adalah Sangdaedeung. Prajurit dan yang lainnya itu pun segera memberi hormat“Tu..Tuan Perdana Menteri..maafkan saya” “dimana komandanmu?” ujar Bi Dam dingin. “lewat sini Tuan..” seorang prajurit mengantarkan.
“hup..” Alcheon pun akhirnya tiba juga di tempat yang sama. Sama seperti tadi, para prajurit mengacungkan senjatanya karena tidak mengenalinya, ia pun menunjukkan lencana miliknya kemudian mengikuti ke arah Bi Dam pergi. Bi Dam berjalan mengikuti prajurit itu, lalu ia melihat seorang pria berpakaian komandan duduk berdiri tertunduk  di samping sebuah pintu. Dari bau darah yang berpencar  di udara, ia bisa tahu bahwa di sanalah mayat-mayat itu diletakkan. “tap..tap..” Bi Dam berjalan melewati komandan itu  “saya harap itu bukan mayat-mayat mereka Tuan…maafkan atas kecerobohan saya..” gumam komandan itu gemetar. Namun Bi Dam hanya diam dan membuka pintu. Amisnya darah langsung tercium tajam, meskipun sudah dibalsem agar kesemua mayat itu tidak membusuk, namun tetap saja amisnya darah tetap tajam tercium.Meskipun di luar hujan, Alcehon yang berhasil menyusulnya hanya berdiri depan pintu dan tercengang melihat semua kekejian itu. Bi Dam pun berjalan di antara mayat para pengawal dibaringkan dengan rapi di lantai, kemudian ia melewati mayat-mayat yang tiap di sisinya terdapat masing-masing satu senjata yakni golok,pedang, busur, tombak. Bi Dam mengenali kesemua senjata itu. Senjata milik para hwarang pilihannya. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat, melihat kesemua mayat tanpa kepala itu. Setelah melihat kesemua mayat yang tergeletak di lantai, matanya pun tertuju ke depan.
“deg..” jantungnya seakan-akan berhenti berdetak begitu melihat mayat yang dibaringkan di atas meja panjang di sisi belakang ruangan.  “dia bukan Deok Man..” gumamnya gemetar.  “tap..tap..”   ia pun berjalan mendekat untuk melihat mayat terakhir. Semakin dekat jaraknya, kedua tangannya pun mulai gemetar. Takut bahwa ternyata kenyataan buruk yang akan ia temukan. 30 langkah, 20 langkah, 15 langkah, ia pun semakin dekat dengan mayat itu. Berbeda dengan mayat yang lain, mayat ini diselimuti dengan kain putih. “bukan..ini bukan dia..hanya kebetulan mayat ini memiliki tinggi yang sama” gumam Bi Dam menguatkan diri sebelum membuka kain penutup itu. Kedua tangannya yang gemetar mengangkat kain itu dan menyibakkannya ke lantai. Sesosok mayat wanita tanpa kepala terbaring di hadapannya.  Dibandingkan dengan mayat yang yang lain, luka di mayat ini hanya satu yakni tusukan tepat di dada kirinya. “ti..tidak ini cuma kebetulan..” gumamnya gemetar melihat pakaian yang dikenakan mayat wanita itu ternyata sama yang sering dikenakan istrinya, dan ia tahu kalau istrinya itu juga membawanya sebelum berangkat. Namun begitu melihat cincin yang melingkar  dan kalung Seoyopdo  yang melingkar di lehernya yang tak berkepala itu membuat Bi Dam tak bisa memungkiri lagi kalau itu memang istrinya. Ia pun jatuh berlutut di samping mayat itu dan menangis “TIDAAAAAKKKK!!!” teriaknya pilu.

3 komentar:

  1. Bidam,,,, ckckck...
    tragis sekali nasipmu...
    gag di QSD
    gag di FF
    harus mengalami kehilangan Deokman,, tapi ini lebii tragis lagi...
    ditinggal mati istri!!!

    BalasHapus
  2. jiah jangan bilang sist Mila mau demo dimari juga?hhw...para pembaca dimari sepertinya pada seneng" aja, buktinya ga ada yg protes (atau jangan" ga ada yang baca lagi?hhw)

    BalasHapus
  3. Klw dsini g bakal demoo daa,, *g ada temennx* klw sendirian koar2 ntar dsangka tukang obat!!hehe

    inipan....kbijakan author! Mo milih walt disney ending ataw horror ending.........*mdalami prasaan sbage ssama author,,,,halahh*

    BalasHapus