Pages


Sabtu, 18 Desember 2010

Our Future Still Continue Chapter 68: The Corpses




Keesokan harinya.
Pagi hari.
Perbatasan Shilla- Baekje.  (30 KM dari Hwangsanbeol, 7 KM dari kota Taejon)
“hooahmm..” Baek Ui berjalan dari kemahnya sambil merenggangkan badannya.  “selamat pagi Tuan..” dua  orang prajurit yang  lewat di depannya memberi hormat. “hmm..rasanya aneh mendengar kalian menyapaku seperti itu..tapi ya sudahlah demi tugas apa boleh buat..”  jawab Baek Ui.   “toplak..toplak..gruduk..gruduk.” terdengar suara tak jauh dari tempat Baek Ui dan pasukannya berkemah. “siapa mereka?” tanya Baek Ui sambil mengintip dari pepohonan. “sepertinya itu rombongan penduduk biasa  yang menarik gerobak jerami Jenderal..” jawab salah satu bawahannya. “tapi kenapa mereka lewat sini?  bukankah, kemarin kau bilang ini jalan yang sangat jarang dilewati ?” tanya Baek Ui. “i..iya..memang jarang tapi bukan berarti tidak dilewati sama sekali..masih ada beberapa dusun kecil di dekat sini..” jawab bawahannya itu takut-takut. Baek Ui pun berdiri meninggalkan bawahannya itu  “hmm..lebih baik nanti siang kita pindah lebih ke dalam hutan…”  “baik Jen..eh Tuan..” jawab bawahannya itu. “draagh..traang..” Baek Ui  berhenti melangkah. “kau dengar bunyi itu?”  tanya Baek Ui. “bunyi apa Tuan?itu hanya bunyi suara roda gerobak yang patah…di jalan berbatu seperti ini bukan hal yang aneh mendengar suara roda gerobak kayu patah..” “bukan suara rodanya…seharusnya mereka hanya membawa jerami..tapi kenapa ada suara itu?” “kau panggil pasukan yang lain..kita sergap rombongan itu..”  perintah Baek Ui. Meskipun masih bingung, bawahannya itu memberi hormat “baik Tuan..”

Ruang Kepala Pengawal Istana
“hamba mohon menghadap Tuan Kepala Pengawal Istana..” ujar seseorang dari balik pintu. “masuklah..” jawab Alcheon yang sedang membaca beberapa laporan. “sraak..” seorang kasim melangkah masuk dan memberi hormat “ada surat untuk Tuan..dikirim dengan merpati paling cepat dari kota Taejon..”  “surat dari Taejon?astaga jangan-jangan..” Alcheon pun segera menerima surat itu dan membacanya. Matanya terbelalak begitu membacanya “apakah? ada surat juga dari Taejon untuk Tuan Perdana Menteri?” tanyanya. “hamba rasa tidak Tuan…sepertinya sejak semalam belum ada surat untuk Tuan Perdana Menteri..” jawab kasim itu. Alcheon pun segera menggulung suratnya “baiklah…kuharap kau terus awasi surat-surat yang datang hari ini untukku dan Tuan Perdana Menteri  terutama yang berasal dari wilayah Taejon atau Kumi..”  “baik Tuan..” jawab Kasim itu sambil memberi hormat. ”apakah aku harus memberitahukan hal ini pada Tuan Perdana Menteri?Ya Tuhan semoga Tuan Putri tiba di Taejon pagi ini…”pikir Alcheon.

Jalur Kumi - Taejon, Shilla.
“Komandan..kami menemukan mayat di dalam kandang…”  seru salah seorang prajurit. Komandan itu pun memacu kudanya ke tempat prajuritnya itu. Prajurit itu member hormat kepada komandannya “sepertinya mereka semua tewas kemarin malam…penyebabnya adalah racun..tapi kami tak tahu ini racun apa tapi sepertinya berasal dari minuman..” “kesepuluh orang ini tewas diracun?” tanya komandan itu sambil mengamati mayat-mayat yang ditemukan lebih dekat. “ya komandan..semuanya memiliki kondisi yang sama..” komandan itu menatap sekeliling  “ini bekas kandang kuda bukan?sepertinya mereka adalah rombongan sedang berteduh di sini semalam…dan tak ada satu pun barang mereka yang hilang..menandakan bahwa ini bukanlah perbuatan perampok..”  Komandan itu pun berhenti sejenak memikirkannya “tunggu bukankah rombongan pengawal Tuan Putri itu terdiri dari 10 pengawal biasa dan 5 hwarang..astaga jangan-jangan..” “komandan..kami menemukan surat dalam kemah ini…” seru prajurit lain dari luar. Komandan itu pun segera berlari keluar.  Prajurit itu berlari menghadapnya dan memberikan surat yang ia temukan itu kepadanya. Komandan itu segera membacanya. Melihat isi surat itu dan cap yang tertera di dalamnya membuat komandan itu gemetar “ya Tuhan..jangan-jangan ini memang rombongan itu..” pikrinya “sepertinya semalam terjadi pertempuran di sini..ada anak panah dan bekas terbakar pada gubuk itu…dan banyak jejak kaki dan darah di sini..” sahut prajurit itu  “komandaaan…kami menemukan mayat lagi…” seru prajurit lain yang menghampirinya. “berapa jumlah mayat yang kalian temukan?5 laki-lakikah?dimana?” tanyanya. Prajurit itu pun jadi bingung bagaimana komandannya bisa tahu jumlah mayatnya “..iya komandan..di sana”  Komandan itu segera berlari ke arah yang ditunjukkannya. “ta..tapi komandan..kondisi mayat-mayat itu  sangat…” prajurit itu ikut berlari. Komandan itu berjalan di tengah kerumunan prajurit yang mengerumuni temuan mereka itu. “astaga…” komandan itu nampak shock melihat pemandangan yang ditatapnya. 5 mayat laki-laki yang penuh luka tanpa kepala.  Di samping kelima mayat itu tergeletak senjata pedang,busur, tombak, dan golok besar. “jangan-jangan ini kelima hwarang itu..” pikirnya. “apakah ada yang menemukan kepala mereka?” tanyanya pada bawahannya. “belum Jenderal..kami belum menemukannya..” “Ya Tuhan..jangan sampai aku menemukannya dalam kondisi tak bernyawa…” pikir Komandan itu. Keringat dingin mengalir dari keningnya. Pikirannya bercampur aduk memikirkan bagaimana ia harus melaporkannya jika yang terburuk benar-benar terjadi. “Komandaan..kami menemukan mayat lagi..seorang wanita” seru seorang prajurit dari arah hutan.  Hati komandan itu langsung mencelos begitu mendengarnya. Ia bersama prajurit yang lain segera menghampiri arah suara itu. “astaga kejam sekali…” gumam para prajurit yang melihatnya. Di pohon bersandar, sesosok mayat wanita tanpa kepala dengan sebilah pedang menancap tepat di jantungnya. “kami menemukan surat ini tertancap panah di dekat mayat wanita itu..namun kami tak mengerti artinya..sepertinya itu adalah bahasa mandarin…” “ma..mana?”  prajurit itu memberikan surat itu kepadanya. Ia pun segera membuka dan membaca surat yang tertulis dalam bahasa mandarin

“Rúguǒ méiyǒu xīn luō gōngzhǔ tóu, ránhòu zài nàlǐ jiāng tā de wángguàn fàng zài nǎlǐ? .. Liánméng hé tǒngyī yǐjīng xiāoshī le tā de tóu..”
yang memiliki arti “jika Putri Shilla sudah tidak memiliki kepala, lalu dimanakah mahkotanya akan diletakkan..aliansi dan unifikasi ikut menghilang bersama kepalanya..”

“segera kau bawakan merpati pengirim surat tercepat untukku segera..” gumam komandan itu gemetar memerintahkan bawahannya yang berdiri di sampingnya. “ambilkan apa Komandan?” tanya prajuritnya. “ambilkan merpati pengirim surat tercepat untukku segera!!! aku harus mengirim surat ke Seoraboel segera!!!” bentak komandan itu.

Istana Ingang
"hmm..bagaimana aku akan memberitahukannya?" pikir Alcheon begitu memasukki ruang kerja Perdana Menteri. Ia melangkah masuk dan memberi hormat "Tuan Perdana Menteri, anda memanggil saya?" Bi Dam meletakkan laporan yang baru selesai dibacanya. "ya..aku hanya ingin menanyakan soal pengawalan di istana, apa kau sudah menemukan orang yang cocok untuk menggantikan posisimu nanti?" "sudah...saya pikir Jenderal Baek Jong memiliki kapasitas untuk jabatan ini..." Bi Dam duduk bersandar pada kursinya "hmm... Jenderal Baek Jong, pungwolju ke 28..Pemimpin pasukan Kota Seoraboel yang membawahi 4000 pasukan.." ujarnya sambil membuka laporan.  Alcheon memperhatikan kesungguhan Bi Dam dalam bekerja, dalam situasi seperti ini, ia mampu berkonsentrasi fokus pada negara. Alcheon sendiri ragu apakah ia bisa melakukan hal yang sama. "lebih baik aku memberitahukannya..ini adalah haknya mengetahui ini.." pikir Alcheon.  Alcheon pun membulatkan tekadnya untuk memberitahu kabar yang diterimanya pagi ini "Tuan Perdana Menteri..ada sesuatu yang harus saya sampaikan.."

Jalur Kumi - Taejon.
"komandan, apa yang harus kita lakukan dengan mayat-mayat ini?bukankah kita sebaiknya melakukan pencarian terhadap Tuan Putri?" ujar salah prajurit. Komandan itu duduk terdiam di atas batu. Semua yang lihat dan alami hari ini mengacaubalaukan pikirannya. “bawa semuanya ke dalam…letakkan mereka dengan hati-hati…dan kita akan menunggu di sini..mungkin sampai mereka datang…” gumam Komandan itu. “mereka?siapa maksud komandan?“ ujar bawahannya bingung. Namun sang komandan hanya duduk termenung “habislah aku…habislah aku..” pikirnya berulang-ulang.

 Siang hari. Istana Ingang.
Ruang Kerja Perdana Menteri.
“Ya Tuhan kenapa masih belum ada kabar..” gumam Bi Dam berulang-ulang. Ini sudah kesekian kalinya ia bangun, berdiri dan duduk kembali di dalam ruangannya. “perjalanan mereka hanya terhambat oleh cuaca buruk..pasti mereka sedang dalam perjalanan ke Taejon...dan sebentar lagi surat dari Deok Man akan tiba..” gumamnya menguatkan dirinya. Kedua matanya yang berkaca-kaca mencerminkan kuatnya perasaan khawatir dan takut yang menguasai hatinya. “Yang Mulia Raja memasukki ruangan…” seru seorang kasim. Bi Dam pun bangun dari duduknya. “sraak..” Yang Mulia Raja diikuti Alcheon berjalan masuk ke dalam ruangan.  “Yang Mulia..” Bi Dam memberi hormat. “saya sudah menyelesaikan laporan Yang Mulia minta, sehingga Yang Mulia tak perlu khawatir dan repot-repot datang kemari karena nanti saya yang akan mengantarkannya..” Yang Mulia Raja menggelengkan kepala “bukan..bukan itu yang kubahas..aku sudah mendengar semuanya dari Alcheon.."

Perbatasan Wonju. Kamp Militer Shilla.
Yushin dan wakilnya Wolya sedang berdiskusi di dalam kemah mengenai strategi perang yang akan mereka gunakan dalam perang melawan Goguryeo nanti . "apakah sudah kabar dari Jenderal Baek Ui atau Jenderal  Yesung?” tanya Yushin. “kabar yang terakhir kuterima adalah bahwa Jenderal Baek Ui sedang berada di perbatasan dekat kota Taejon…dan begitu juga dengan Jenderal Yesung yang berada di wilayah Ch’ungju..” jawab Wolya. Yushin menatap peta di hadapannya “Taejo…Chu’ungju…wilayah terdekat dengan Hwangsanbeol..basis militer Baekje terkuat dan terdekat dengan Shilla ada di sana…tidak terlalu jauh dari sini..” Wolya mengangguk “ya…oleh karena itulah mereka memutuskan untuk pergi ke sana…”  “sraak..” tiba-tiba seorang prajurit masuk ke dalam kemah dan memberi hormat  “Panglima…ada pergerakan dari Goguryeo…pasukan dari Pyongyang telah memasuki perbatasan dekat Wonju…” Wolya dan Yushin terkejut mendengarnya “benarkah?  Prajurit itu mengangguk “ya Jenderal..mata-mata di perbatasan baru saja melapor..” Meskipun terkejut, Yushin tidak panik menanggapinya, setelah berpikir sejenak ia pun  memberi perintah “siagakan seluruh prajurit…Wolya, perintahkan Jenderal Im Jong dan Deok Chung  untuk segera bersiap-siap untuk memimpin garis depan..”  “baik…” jawab Wolya dan prajurit itu sambil memberi hormat, sebelum mereka keluar dari kemah. “bahkan Pyongyang pun ikut turun tangan meskipun Wa sudah membantu…apakah mereka benar-benar sangat ingin menghancurkan Shilla, sampai-sampai ibukota pun ditinggalkan?” pikir Yushin.

Menjelang sore hari. Istana Ingang.
Ruang Kerja Perdana Menteri.
Yang Mulia Raja, Bi Dam, dan Alcheon hanya terdiam menunggu kabar sejak siang. Tak ada satu pun suara selain gumam gelisah Bi Dam di ruangan itu. Bi Dam pun bangun dari duduknya “sebaiknya saya keluar untuk mencari tahu sendiri…begitu ada kabar saya akan segera memberitahu Yang Mulia..” lalu memberi hormat kepada Yang Mulia Raja. Alcheon pun juga ikut berdiri “hamba akan meminta kurir tercepat untuk menghubungi komandan dari Kota Taejon…” “hamba mohon menghadap Tuan Perdana Menteri..” seru seseorang dari balik pintu. “jangan-jangan suratnya sudah sampai..” pikir Bi Dam. “masuklah..”katanya penuh harapan. “sraak..” seorang kasim masuk sambil membawa amplop putih di tangannya.”apakah ada surat untukku?” tanya Bi Dam. “Ya Tuan..dikirimkan oleh merpati tercepat..” jawab kasim itu sambil menyerahkan surat.  Bi Dam pun agak kecewa begitu melihat tanda tangan komandan Kota Taejon  di atas amplop itu. “bukan dari Deok Man..” pikirnya. Ia pun segera membuka amplopnya dengan cepat-cepat. Terdapat 2 lembar kertas di dalam amplop itu. Yang satu putih bersih, dan yang lainnya terdapat bercak merah darah di atasnya. “a..apa ini?” gumam Bi Dam gemetar begitu membaca suratnya.Kedua tangannya gemetaran memegang surat itu, air matanya pun menetes jatuh.  Melihat reaksi Bi Dam, Alcheon dan Yang Mulia Raja tahu pasti sesuatu yang buruk telah terjadi.  “Perdana Menteri Bi Dam ada apa?apakah ada sesuatu?” tanya Yang Mulia Raja. Melihat ekspresi Bi Dam , Ia pun menjadi takut dan khawatir. Jangan-jangan ada hal buruk yang menimpa bibinya. Bi Dam hanya diam dan tiba-tiba jatuh berlutut di lantai. “Tuan..” Alcheon berusaha memapahnya. “ti..tidak mung..kin..” gumam Bi Dam.  Alcheon pun memungut surat yang jatuh dan membacanya. Matanya terbelalak begitu membacanya. “katakan padaku Alcheon apa isi surat itu?kabar buruk kah?berikan suratnya padaku..” tanya Yang Mulia Raja yang semakin penasaran. “sa..sangat buruk Yang Mulia..sepertinya Tuan Putri ..” Yang Mulia Raja pun tak bisa bersabar lagi lalu mengambil sendiri surat itu dari Alcheon.  “ti..tidak mungkin..Putri Deok Man tewas terbunuh?” gumam Yang Mulia Raja. “braakk..” Bi Dam menggebrak lantai dengan kedua tangannya “tidak mungkin!!” serunya. Tanpa berkata apa-apa, ia pun bangun, mengambil surat itu dan berjalan keluar ruangannya meninggalkan Yang Mulia Raja dan Alcheon. “Tuan..” seru Alcheon. “tidak..tidak mungkin..ia pasti salah orang..Deok Man sekarang sudah di Taejon beristirahat..dan sebentar lagi ia akan menulis surat untukku…” gumam Bi Dam berulang-ulang sambil berjalan, meremas surat itu dalam genggamannya. Air mata di pipinya mengalir tak tertahan. “aarrgh..” teriaknya sambil menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar