Our Future Still Continue Chapter 77: Inside Hwangsanbeol
Benteng Hwangsanbeol, Baekje.
“apakah tak ada cara lain untuk menghentikan perang ini?” gumam Deok Man. Daemusin menoleh. Deok Man menoleh menatap Daemusin “apa yang harus kulakukan untuk menghentikanmu dan melindungi negeriku?menghentikan perang yang berat sebelah ini?” Daemusin hanya terdiam menatap Deok Man. “Panglima, ada kabar penting…” seorang prajurit berdiri di belakang Daemusin dan memberi hormat. Alis Daemusin terangkat “kabar penting?” “ya Panglima..25.000 pasukan Shilla berhasil mengalahkan 30.000 pasukan Goguryeo..Panglima Eulji mati terbunuh…” “be..benarkah?” tanya Deok Man dengan wajah seprauh tak percaya dan separuh gembira mendengar kabar itu. Daemusin sama sekali tidak menunjukkan keterkejutan, seakan-akan ia sudah memperhitungkan segalanya “wah..wah..bahkan 30.000 prajurit Goguryeo memang bukan lawan tanding yang seimbang..” “tu..tunggu..pasukan Shilla hanya 25.000 prajurit? bukankah pasukan Shilla berjumlah 50.000 yang dibawa ke Wonju?” tanya Deok Man. “siapa yang memimpin Shilla di sana?”tanya Daemusin. “menurut laporan, bukan Panglima Yushin yang memimpin..melainkan wakilnya, Jenderal Wolya..” “sudah kuduga.. sang Pangeran Gaya yang akan memimpin…memang harus kuakui Eulji bukanlah orang yang cocok untuk menjadi Panglima Goguryeo..tapi ya sudahlah kuharap setelah ini Yeon Gaesomun belajar untuk lebih selektif lagi dalam memilih orang…lalu apakah kau sudah menemukan jejak Panglima Yushin?” tanya Daemusin. “be..belum Panglima..kami belum berhasil menemukan jejaknya..beberapa hari ini banyak sekali rombongan pedagang dan para pengungsi dari Shilla sehingga kami sulit menyelidikinya satu persatu…” “selidiki terus..laporkan padaku berapa jumlah pasukan dari Goguryeo dan Shilla yang tersisa!” perintah Daemusin. “baik Panglima..” jawab prajurit itu sambil memberi hormat. Deok Man yang dari tadi memperhatikan percakapan pun menjadi semakin bingung dengan kejadian apa saja yang telah dilewatkannya “sebenarnya apa yang terjadi?kenapa kau mencari jejak Panglima Yushin?” Daemusin menoleh menatap Deok Man “baiklah Tuan Putri..akan kuceritakan apa yang terjadi dengan Panglimamu itu..”
Benteng Bulcheon, KotaTaejon, Shilla.
Bi Dam, Alcheon dan Yushin yang bersama keempat jenderalnya sedang mengadakan rapat guna membahas perang yang akan mereka hadapi serta masalah lain mengenai ditawannya Deok Man di sana. “karena benteng itu dijaga ketat, mata-mata kesulitan untuk menyelidiki lebih detail, sehingga kita tidak bisa mengetahui apakah pasukan Wa telah tiba di sana semuanya atau belum…bagiamana penjagaan di dalam benteng…” ujar Jenderal Yesung. “apakah kita tidak bisa memprediksinya dari jumlah orang yang keluar masuk benteng tersebut?benteng bukanlah tempat yang lumrah untuk keluar masuk banyak orang..” tanya Alcheon. “fungsi Benteng Hwangsanbeol tidak hanya menampung prajurit..namun juga budak pekerja…budak-budak pekerja yang bertugas membangun kota-kota di wilayah Baekje…” jawab Bi Dam. “tapi jika kita prediksi secara garis besar….mungkin 60.000 pasukan itu baru tiba sepenuhnya malam nanti atau besok…mengirim 60.000 pasukan diam-diam dari Goguryeo ke Hwangsanbeol bukanlah hal yang mudah..” Baek Ui ikut mengemukakan pendapat. “oleh karena itu kita harus bergerak secepat mungkin ke Hwangsanbeol..sebelum mereka bergerak lebih dulu..” ujar Bi Dam. “tapi jika kita bergerak lebih dulu…berarti mereka akan tahu bahwa kita sudah menyadari strategi mereka..” sahut Jenderal Yong Ha. “kurasa Daemusin sudah mengetahuinya..” ujar Kim Yushin. Bi Dam dan yang lainnya pun menoleh menatapnya. “berita kemenangan Shilla atas Goguryeo, mungkin sudah terdengar sampai Baekje..dan mereka pasti menyadari bahwa jumlah pasukan yang ada dan yang memimpin berbeda dari yang sebelumnya..” ujar Yushin. “hmm..iya ya..kita lupa kalau mereka pasti mengawasi perang di Wonju..” gumam Jenderal Sun Joon. “kalau begitu aku akan menyusup ke sana untuk memastikannya…” sahut Bi Dam. “Bi Dam..” sergah Yushin. “aku tahu apa yang kalian pikirkan..tapi aku tidak akan berbuat nekat…aku hanya akan menyelidiki keamanan di sana, mencari tahu tentang pasukan mereka, dan mencari celah-celah untuk masuk ke benteng nanti…percayalah..aku pun juga tidak mau membahayakan nyawanya..” jawab Bi Dam. “bagaimana menurut kalian?” tanya Yushin. “kami semua setuju dan percaya pada Bangsawan Bi Dam…tentu saja selain perang ini, kami tidak melupakan keselamatan Tuan Putri Deok Man…” jawab Baek Ui diikuti anggukan ketiga jenderal lainnya. “aku akan menemani Bi Dam..” jawab Alcheon. Mendengar itu semua, Yushin pun membuat keputusan “hmm…baiklah…siang ini Bangsawan Bi Dam dan Bangsawan Alcheon akan berangkat ke sana…awasi pergerakan di sana…mengenai penjagaan di sana…kondisi cuaca dan lingkungan sekitar…dan keberadaan pasukan Wa di sana…” Bi Dam dan Alcheon mengangguk “baik..”
Benteng Hwangsanbeol, Baekje
“apakah tak ada cara lain untuk menghentikan perang ini?” gumam Deok Man yang nampak tegar dengan segala kesedihan tertahan di matanya. “Daemusin..kau harus jadi pria yang hebat nak…begitu kau menaklukan semuanya, semua orang pun akan tunduk padamu….maafkan ibu yang tak akan bisa menemanimu lagi…”gumam ibunya dengan berlinang air mata sambil mengusap wajah Daemusin kecil. Daemusin pun meletakkan laporan yang sedang dibacanya. “ini tehnya Tuan..” Shin Ae meletakkan segelas teh di meja Daemusin. Daemusin pun tersadar dari lamunannya. “Tuan..apakah Tuan baik-baik saja?sepertinya Tuan sedang ada masalah?” tanya Shin Ae khawatir. Ia berdiri di belakang Daemusin kemudian menyandarkan kepala Daemusin di perutnya dan mulai memijatnya. Daemusin menarik tangan Shin Ae dari kepalanya “Shin Ae sudahlah..aku tidak apa-apa..” ujarnya setengah membentak, kemudian kembali berkonsentrasi membaca laporan di hadapannya. Shin Ae nampak terkejut dengan reaksi tuannya itu. Tuannya memang selalu bersifat dingin terhadapnya namun tidak pernah menolaknya seperti ini. “ba..baik Tuan..jika Tuan membutuhkan saya, saya ada di luar..” Shin Ae memberi hormat sambil menahan air matanya lalu meninggalkan ruang kerja Daemusin. “Daemusin..kau harus jadi pria yang hebat nak…begitu kau menaklukan semuanya, semua orang pun akan tunduk padamu…” lagi-lagipesan terakhir dari ibunya terngiang kembali. Daemusin menggenggam erat laporannya yang dibacanya kemudian menggulungnya. “begitu semuannya kutaklukan, ia pun pasti akan menjadi milikku..” gumam Daemusin.
Siang hari
Istana Ingang, Shilla.
Yang Mulia Raja baru saja selesai berdoa di hadapannya altar ibunya. Ia pun berjalan keluar dari ruangan altar, dimana Jenderal Baek Jong sudah menunggunya di luar “Yang Mulia..Panglima Yushin dan keempat jenderal sudah berada di Taejon bersama Bangsawan Bi Dam dan Bangsawan Alcheon…” “benarkah?” tanya Yang Mulia Raja. “ya Yang Mulia…pagi ini Panglima Yushin tiba di sana..dan langsung mengadakan pertemuan untuk membahas penyerangan ke Hwangsanbeol..” “jadi mereka memutuskan menyerang terlebih dulu?” “hamba kurang tahu Yang Mulia..tapi jika dilihat dari strategi Panglima Yushin selama ini, menurut hamba mungkin mereka berusaha laju pasukan Baekje nanti…setidaknya luasnya wilayah pertempuran tidak berdampak terlalu besar…” Yang Mulia Raja menghela napas panjang “sepertinya kita harus segera bersiap untuk mengatur pengungsian dari kota-kota terdekat dengan Hwangsanbeol…” “lalu Yang Mulia mengenai persiapan persembunyian keluarga kerajaan..apakah hamba harus memberitahu Yang Mulia Permaisuri?” “mengenai itu biar aku saja yang memberitahukannya…” jawab Yang Mulia Raja. “baik Yang Mulia..” jawab Baek Jong “lalu ada satu hal lagi..” ujar Yang Mulia Raja. “ya Yang Mulia..” “aku ingin Yun Ho dan Yoo Na bersama pengasuhnya makan malam bersamaku nanti..aku ingin menemani mereka di hari yang seharusnya berarti penting bagi kami..” ujar Yang Mulia Raja sambil menatap lukisan ibunya yang tergantung di dinding.
Benteng Hwangsanbeol, Baekje.
Shin Ae berdiri di menara benteng,dimana ia bisa melihat pemandangan kota dan luar benteng. “tap..tap..sraat..” sebuah mantel tersangkup di bahunya. Dan ia mengenali mantel itu. “meskipun ini siang, tapi anginnya cukup kencang untuk bisa membuatmu sakit..” ujar Daemusin yang sekarang berdiri di sampingnya. “Tu..Tuan…” Shin Ae tak percaya dengan apa yang sekarang dialaminya. Daemusin berdiri di sampingnya sambil menatap pemandangan penduduk kota yang sedang sibuk menyiapkan festival nanti. “sepertinya nanti akan ada festival di kota..” ujar Daemusin. Shin Ae mengangguk. Mereka terdiam sebentar sebelum akhirnya Shin Ae dengan takut-takut bertanya “Tuan, sebenarnya saya ingin meminta izin…” “izin apa?” tanya Daemusin. “saya ingin pergi ke festival itu nanti malam..dan saya tahu jika Tuan pasti sibuk dan tak ingin diganggu..jadi kalau diizinkan saya ingin….”
Wilayah Wonju, Perbatasan Shilla-Goguryeo.
“Jenderal istirahatlah..sejak perang dimulai hingga sekarang Jenderal sama sekali belum beristirahat…bahkan luka-luka jenderal belum diobati..” ujar salah seorang prajurit yang berjalan membuntuti Wolya. Wolya pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang “baiklah aku akan beristirahat segera setelah kiriman persediaan pangan dan obat-obatan tiba…” “jenderal..” salah seorang prajurit berlari sambil membawa amplop surat di tangannya. Prajurit itu memberi hormat dengan napas tersengal-sengal “ada surat untuk Jenderal dari Panglima Yushin..” “Yushin?” Wolya pun segera membuka surat itu dan membacanya dengan seksama. Perasaan lega bercampur khawatir menyatu dalam wajahnya. “kolonel Choi..” panggil Wolya. “siap Jenderal..” jawab prajurit yang dari tadi membuntutinya itu. “kirim mata-mata ke Goguryeo…selidiki dan pastikan Goguryeo tidak mempunyai niat atau kekuatan untuk menyerang Shilla kembali..”
Sore hari.
Benteng Hwangsanbeol, Baekje.
“ayo Tuan Putri..kita berangkat sekarang..”ujar Shin Ae penuh semangat. Deok Man hanya bisa menanggapinya dengan senyuman. Setidaknya kali ini ia bisa merasakan udara bebas dan jika ada kesempatan sebisa mungkin ia akan berusaha mencari celah untuk meninggalkan benteng ini selamanya. “braak..” pintu besi kamar Deok Man terbuka. “Tu..Tuan..” Shin Ae memberi hormat kepada Daemusin, sementara Deok Man hanya menatapnya dingin. Daemusin membalasnya dengan senyum tipis “karena kita akan mengajak tamu istimewa kali ini, kurasa ada baiknya untuk meminta orang kepercayaanku mengawal kalian..” ujarnya sambil menatap Deok Man. “Bangsawan Seung Won…masuklah..” Seorang pria berpakaian coklat dan pedang tersarung di pinggang, melangkah masuk. “kau?” ujar Deok Man.
“kau yang menyerangku kan?” ujar Deok Man. Daemusin hanya tersenyum melihatnya “kurasa kalian pernah bertemu sebelumnya namun Bangsawan Seung Won belum memperkenalkan dirinya..” Seung Won pun tersenyum lalu memberi hormat “nama hamba Cha Seung Won, Tuan Putri..hamba yang akan mengawal dan mengawasi Tuan Putri..” Deok Man menatap Seung Won dengan penuh amarah. “kurasa lebih baik kalian berangkat sekaramg agar bisa menikmati acaranya lebih lama…” ujar Daemusin. “baik..” jawab Shin Ae. Ia dan Seung Won berjalan lebih dulu keluar kamar. Meninggalkan Deok Man dan Daemusin dalam kamar berdua. Deok Man pun bangun dari tempat duduknya lalu berjalan menuju pintu keluar, dimana Daemusin berdiri di sampingnya. “jika Tuan Putri berani melarikan diri..aku pastikan Seoraboel hanya akan menjadi tinggal sejarah besok…” Deok Man hanya terdiam lalu kembali berjalan.
“sepertinya banyak yang berubah dari Hwangsanbeol..” ujar Bi Dam yang menatap Hwangsanbeol dari pinggiran tebing. Sebuah benteng besar berdiri kokoh di belakang hutan, seberang sungai. “kau pernah ke sana?” tanya Alcheon. “dulu..bersama Guru Munno…waktu aku ke sana..kota yang berada di sampingnya belum sebesar itu..masih bisa dibilang hanya desa pedagang biasa..” jawab Bi Dam sambil menunjuk kota yang berdiri di sebelah benteng. “kota yang aneh menurutku..bukannya didirikan di belakang benteng, melainkan disampingnya…” “kata guruku..awalnya Hwangsanbeol adalah sebuah benteng khusus untuk perekrutan dan pelatihan militer…bukan benteng pelindung kota…tapi ternyata untuk menunjang kehidupan di benteng, butuh para pedagang dan pengrajin yang menyediakan kebutuhan..lalu munculah para pedagang yang kelak akan menetap di samping benteng dan mendirikan desa pedagang dan pengrajin di sana yang kemudian berkembang menjadi kota seperti ini..” ujar Bi Dam. “hmm..aku baru mengerti sekarang…” ujar Alcheon sambil menganggukan kepala.
Malam hari.
Kota Hwangsanbeol
Kota Hwangsanbeol dipadati oleh para pedagang dan penduduk yang merayakan festival. “sebenarnya ini festival apa?” tanya Deok Man. “ini untuk merayakan kedatangan para pendahulu ke sini…dulu para pedagang yang membangun wilayah ini hingga akhirnya kota ini berdiri..bisa dibilang festival ini untuk merayakan berdirinya kota ini, sehingga akhirnya setiap tanggal 14 bulan kedua, festival ini selalu dirayakan..” jawab Shin Ae. “sekarang tanggal 14 bulan kedua?” tanya Deok Man. “iya Tuan Putri…” jawab Shin Ae. “apakah di sini ada kuil untuk berdoa?” tanya Deok Man.”ada..apakah ada sesuatu yang berkaitan dengan tanggal 14?” tanya Shin Ae. Deok Man mengangguk “hari ini kakakku berulang tahun..jadi aku ingin mendoakan arwahnya..” “kalau begitu kita lewat sini Tuan Putri..aku tahu kuil yang bagus untuk berdoa..” ujar Shin Ae.
“apakah sekarang sedang ada perayaan?” ujar Bi Dam yang sekarang berada di di tengah kerumunan orang. “akan kutanyakan…” jawab Alcheon. Alcheon pun pergi bertanya pada salah satu pedagang di situ. “katanya ini adalah perayaan untuk merayakan berdirinya kota ini yang dirayakan setiap tanggal 14 bulan kedua..” “sekarang tanggal 14 bulan kedua?” tanya Bi Dam dengan nada tak percaya. “iya..sekarang tanggal 14 bulan kedua..” jawab Alcheon. Bi Dam pun memukul keningnya “astaga..aku bahkan sampai lupa..” Alcheon pun heran “apakah ada sesuatu yang terlupakan?” Bi Dam menggeleng “ayo kita kembali berjalan..”
Deok Man membuka matanya. “selamat ulang tahun kakak..” gumamnya di depan altar sembahyang. “sudah selesai?” tanya Shin Ae. Deok Man mengangguk sudah. Mereka pun pergi meninggalkan kuil. Shin Ae mengajak Deok Man ke depan sebuah pohon bambu kecil yang sudah digantungi banyak amplop merah kecil. Di sekeliling mereka ada beberapa orang yang sedang menulis kemudian memasukkan kertas mereka ke dalam amplop dan menggantungkannya di pohon itu dengan seutas benang. “ini untuk apa?” tanya Deok Man. “Tuan Putri menulis permohonan di sini..lalu masukkan dalam amplop dan gantungkan…” ujar Shin Ae penuh semangat. Seung Won tertawa kecil mendengarnya “tetapi jika Tuan Putri memohon untuk kabur itu akan menjadi permohonan yang sia-sia…” Deok Man tidak menggubrisnya lalu mulai menulis permohonannya di kertas itu kemudian memasukkannya dalam amplop dan menggantungkannya. “waah sepertinya sudah dimulai…” seru Shin Ae ketika melihat orang-orang berkumpul di tepi sungai kecil dekat itu “ayo Tuan Putri harus melihatnya..”
“Deok Man apa benar kau berada di balik tembok ini…” pikir Bi Dam sambil memegang tembok benteng yang ada di hadapannya“sepertinya hanya ini satu-satunya jalan untuk masuk ke sini…” ujar Alcheon yang sekarang berada di tepi sebuah parit yang cukup besar dimana aliran air bersih masuk ke dalam benteng. “kurasa kita bisa memanfaatkan ini saat terjadi kekacauan di kota ini nanti..” sahut Bi Dam. “tap..tap..” terdengar suara derap langkah kaki mendekat. Bi Dam dan Alcheon pun segera berlari mengumpat di balik semak. Dan mereka beruntung bisa mendegar informasi yang sangat penting dari percakapan gerombolan prajurit Baekje itu. “sraak..sraak..” rupanya ada tupai yang menelusup di atas pohon tempat Bi Dam bersembunyi. “sial..” pikir Bi Dam. “siapa di sana?!!” seru prajurit Baekje itu. “ meskipun ia bisa saja membunuh mereka semua, tapi Bi Dam memilih untuk berlari kabur secepat mungkin bersama dengan Alcheon daripada harus mengundang keributan. Gerombolan prajurit itu segera memeriksa tempat berasalnya bunyi.
“sraak..sraak..” segerombolan tupai muncul di depan mereka. “hanya tupai rupanya..” ujar mereka. Bi Dam dan Alcheon menelusup di tengah keramaian orang untuk memastikan prajurit-prajurit itu tak mengejar mereka. “waah..indahnya..” seru orang-orang yang hadir di situ. Ratusan kapal-kapalan kecil dari kayu dengan lampion di atasnya melewati sungai di depan mereka. “ada yang ingin aku lakukan..” ujar Bi Dam begitu melihat itu.
“haah..bagaimana Tuan Putri festivalnya?cukup menyenangkan bukan?” ujar Shin Ae. “ya..”jawab Deok Man. “Tuan Putri duduklah di sini..aku akan memesankan kue beras dan teh dulu di dalam…” ujar Shin Ae. Deok Man mengangguk lalu duduk. Menatap sungai di hadapannya yang sekarang kosong. “tuk..” sebuah kapalan-kapalan kecil tersangkut di batu tepi sungai. Deok Man menatap heran kapal itu. Berbeda dengan kapal-kapal yang tadi dilihatnya, yang ada di atas kapal ini bukanlah sebuah lampion melainkan sebuket bunga. Ia pun berjalan ke tepi sungai dan memungut kapal itu. Di bawah buket bunga itu ada sebuah amplop merah kecil yang seharusnya digantung di pohon permohonan. Deok Man menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa. Ia pun memberanikan diri membaca isi amplop itu. Isi amplop yang tertulis dalam sandi suku Gaya
“Kuharap perahu ini bisa menembus dinding benteng yang tebal dan membawa pesanku untuknya.
Selamat ulang tahun untuk istriku, Deok Man… Bi Dam”
Air mata Deok Man langsung meleleh begitu membacanya. “Bi..Bi Dam ada di sini kah?” gumamnya. “Tuan Putri apa yang sedang kau lakukan di sana?” seru Seung Won. “Tuan Putri..kuenya sudah siap..” ujar Shin Ae. Deok Man segera memasukkan surat itu dalam lengan bajunya dan berjalan menghampiri Shin Ae. “ayo dicicipi kuenya..” Shin Ae meletakkan semangkuk kue beras di depan Deok Man. “Shin Ae bolehkah aku meminta sesuatu setelah ini?” tanya Deok Man.
“Bi Dam apa yang kau lakukan? ini sungai yang terhubung dengan parit yang tadi kan?” seru Alcheon. “aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuknya..lagipula aku sudah menulisnya dalam sandi suku Gaya..jadi kurasa sekalipun orang lain yang membacanya..mungkin akan terlihat sebagai sampah di mata mereka..” jawab Bi Dam. Ia menatap sungai di hadapannya dengan tatapan hampa. “kurasa penyelidikan hari ini cukup..kita sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan..kita harus memberitahukan panglima mengenai apa yang kita dengar tadi..” ujar Alcheon. “ya..setelah ini kita akan kembali..” jawab Bi Dam. Sebelum pergi, Bi Dam menatap sungai itu dan benteng yang berdiri kokoh tak jauh dari sana sekali lagi “selamat ulang tahun istriku…”
“lihat Tuan Putri..indahnya anting-anting ini..” seru Shin Ae penuh semangat melihat-lihat dagangan yang dijajakan para pedagang di sisi kanan-kiri jalan. “iya..sangat manis..” jawab Deok Man. Ia menegok ke kanan dan ke kiri. “Tuan Putri mencari sesuatu?” tanya Shin Ae. “hm?ah tidak..aku hanya penasaran dengan barang-barang yang dibawa pedagang dari sana..” ujar Deok Man berbohong. “baiklah kita ke sana..” jawab Shin Ae. Mereka pun berjalan melewati keramaian. Deok Man sengaja memilih jalur ini karena ini dengan begini ia bisa lebih mudah mencari pengirim surat tadi. Mencari Bi Dam. “Tuan Putri..Tuan Putri..” seru Shin Ae yang terjepit di keramaian orang. Deok Man menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan tatapannya terhenti pada sosok seorang pria yang berpakaian hitam dan bercaping. Deok Man yakin bahwa itu adalah orang yang dicarinya. Secara refleks ia pun memanggilnya “Bi…”Namun sebelum ia sempat memanggil nama itu, Seung Won sudah membekap mulutnya dengan tangannya. “aku tahu..siapa yang kau lihat Tuan Putri..” bisiknya di telinga Deok Man. “hmmph..hmmph..” Deok Man meronta. “ada apa ini?” tanya Shin Ae dengan napas tersengal-sengal. “Shin Ae panggilkan penjaga..ada mata-mata masuk ke sini..”perintah Seung Won. “ba..baik..” jawab Shin Ae. “tidak..Bi Dam larilah cepat..” seru Deok Man dalam hatinya.
“tap..tap..” Bi Dam mempercepat langkahnya. “ada apa Bi Dam?apakah ada masalah?” tanya Alcheon. “kita dibuntuti..” jawab Bi Dam. Mereka pun menelusup dalam keramaian sebelum akhirnya bersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak kayu besar. “dimana kedua orang itu?” seru prajurit Baekje kebingungan. Bi Dam dan Alcheon menguping pembicaraan prajurit itu dan menunggu mereka pergi. “apakah ada yang mengenali kita?” bisik Alcheon. “aku juga tidak tahu..tapi kita harus keluar dari sini..” jawab Bi Dam.
Tengah malam.
Benteng Hwangsanbeol, Baekje.
Daemusin membuka matanya, dilihatnya Shin Ae terlelap mendekap dadanya yang telanjang. Dengan perlahan, ia menyingkirkan tangan Shin Ae lalu menyelimuti Shin Ae yang telajang dengan selimut. Ia mengenakan jubah tidurnya lalu berjalan keluar dari kamarnya, menuju ruang kerjanya, dimana Seung Won sudah menunggunya. “bagaimana hasilnya?apakah berhasil ditangkap?” tanya Daemusin. “maafkan kegagalan saya Panglima....” jawab Seung Won dengan kepala tertunduk. “kau tahu..bahwa aku sangat membenci kata gagal..” ujar Daemusin dingin dengan tatapan menusuk. “maa..maafkan saya Panglima..tapi saya juga membawa berita..” ujar Seung Won berusaha menjilat. “kabar apa?” tanya Daemusin. “mata-mata kita bilang bahwa Jenderal Yushin ada di Kota Taejon..ia sempat menguping pembicaraan para prajurit penjaga di sana..lalu umpan yang kita pasang juga telah ditangkap namun berhasil lolos…akan tetapi kata orang suruhanku, yang menangkapnya memang Bi Dam namun yang mengejarnya, bukanlah dia...matanya lebih sipit dan berwajah oval..saya rasa ada informasi yang sempat bocor dari situ..” jawab Seung Won. “kurasa itu adalah Alcheon, Kepala Pengawal Istana Shilla..hmm..jadi sekarang semuanya sudah berkumpul di Taejon rupanya…lalu bagaimana dengan kedatangan prajurit yang tertunda, apakah semuanya sudah dibereskan?” “sudah Panglima mereka semua dipastikan siap lusa siang..” “baiklah..besok malam aku akan mendeklarasikan penaklukan 3 Han ini di hadapan para pejabat..persiapkan semuanya..” ujar Daemusin. “baik Panglima..saya tidakakan mengulang kesalahan saya kembali..” jawab Seung Won sambil memberi hormat “kali ini aku memaafkan kecerobohanmu Seung Won..” “tapi Panglima bukankah sebaiknya wanita itu disingkirkan saja..karenanya Bi Dam sampai menyusup ke sini..dan hampir saja ketahuan…..sudah tak ada gunanya lagi kita membawanya ke sini..” Daemusin pun naik pitam, ia mencekik leher Seung Won hingga kaki Seung Won pun terangkat dari tanah. “prinsip nomor 3 dalam militer..jangan pernah melimpahkan kegagalanmu pada orang lain..” “ma..maaf..kan saya Panglima..am..puni..ham..ba..” ujar Seung Won dengan nafas terputus-putus. Daemusin pun melepaskannya ”PERGI!!” Seung Won pun segera lari terbirit-birit meninggalkan ruangan. “ia lebih berharga dibandingkan 1000 nyawamu..” pikir Daemusin.
“Kuharap perahu ini bisa menembus dinding benteng yang tebal dan membawa pesanku untuknya.
Selamat ulang tahun untuk istriku, Deok Man… Bi Dam”
Deok Man duduk dan membaca surat itu berulang-ulang. Ia pun teringat dengan sosok yang tadi dilihatnya di tengah kerumunan orang. “Bi Dam dimana kau sekarang?apakah kau berhasil kabur? ” gumamnya. “braak..” pintu kamarnya terbuka, Deok Man segera menyembunyikan surat itu dalam lengan bajunya. “sudah kuduga kau belum tidur, Tuan Putri..” ujar Daemusin. Deok Man menghapus air matanya dan tidak mengacuhkannya. Daemusin berdiri di hadapannya “rupanya suamimu berhasil meloloskan diri, Tuan Putri… ” Deok Man menatapnya dengan tatapan keras “apa maumu?” “tak ada..hanya saja..” Daemusin menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Deok Man dalam lengan baju kirinya. Ia menarik paksa tangan Deok Man dan merampas surat yang disembunyikannya itu. “kembalikan!!” seru Deok Man. Daemusin membuka amplop itu dan membaca isinya. Berkat pendidikannya di Akademi Militer Wei, tentu saja ia tahu apa arti sandi itu. “kembalikan!!” seru Deok Man sambil berusaha mengambil surat itu. Daemusin memegang satu tangan Deok Man “jadi ini yang kau sembunyikan?!!rupanya ia berhasil mengirim surat padamu!!” “ia suamiku..apa hakmu mengaturnya?!!” jawab Deok Man tanpa takut. Daemusin pun geram lalu mendorong Deok Man, hingga ia terjatuh di tempat tidurnya. Daemusin berada di atasnya dan menahan kedua tangannya yang berusaha meronta-ronta melepaskan diri. “lepaskan aku!!lepaskan!!” seru Deok Man melawan. “semua dari negerimu akan kuhancurkan begitu juga dengan dia..akan kubunuh dia dan kubawa kepalanya kepadamu..dan kau akan menjadi milikku!!” Sambil menahan Deok Man yang berusaha melawan, Daemusin mengecup leher Deok Man. Deok Man pun tak bisa menghindar atau menghentikannya. “Bi Dam...!!” teriak Deok Man.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar