Our Future Still Continue Chapter 73 : The Rebellion Has Begun
Di hari yang sama
Malam hari.
Benteng Bulcheon, Kota Taejon, Shilla
Bi Dam menatap peta wilayah 3 kerajaan yang ada di atas mejanya. Dengan tatapan penuh amarah, ia menatap peta wilayah Baekje. “apa kau ada di sana Deok Man?” gumamnya sambil menggenggam cincin milik istrinya. Wajahnya menjadi sedih begitu menatap cincin itu lalu menggenggamnya erat-erat sebelum ia menyimpannya kembali. Ia pun menggulung dan menyimpan peta itu di balik bajunya lalu ia mengambil pedangnya dan berjalan keluar dari kamarnya. “ugh..” tiba-tiba ia merasa kepalanya pening sekali dan pandangan matanya kabur. Ia pun segera berpegangan pada tiang penyangga di dekatnya. Ia pun menunggu beberapa saat sampai sakit di kepalanya hilang dan pandangan matanya kembali jelas. Ia pun kembali berjalan menuju istal kuda yang berada tak jauh dari situ.
“apa maksud pesannya itu?” pikir Alcheon sambil berjalan cepat-cepat. Kemudian ia menghentikan langkahnya dan berdiri di depan pintu ruangan, tempat dimana seharusnya Bi Dam istirahat saat itu. “Bi Dam..” panggilnya. Namun tak ada jawaban. Perlahan, ia membuka pintu kamar itu dan ternyata ruangan itu kosong, bahkan tempat tidurnya masih sangat rapi seakan-akan belum dipakai hari itu. “tunggu..jangan-jangan ia sudah..” ia pun segera berlari keluar dari kamar Bi Dam. Ia pun melihat sekeliling dan menemukan bahwa Bi Dam sedang berada di bawah dan sedang berjalan menuju istal kuda. Alcheon segera berlari menuju tangga terdekat “Bi Dam…” panggilnya.
“Bi Dam…” Bi Dam bisa mendengar ada suara yang memanggilnya dan ia kenal suara itu namuni tu tidak membuatnya berhenti berjalan. “ugh..” pening di kepalanya kembali menyerang dan kali ini lebih hebat. Langkah Bi Dam pun terhenti. Badannya sempoyongan seakan-akan kedua kakinya tidak mampu lagi menahan bobot tubuhnya. “Bi Dam!!” seru Alcheon dari belakang. “bruk!!” Bi Dam pun tak kuat lagi untuk berdiri dan jatuh ke tanah.
Keesokan harinya
Pagi hari.
Ruang kerja Raja, Istana Ingang, Shilla.
Yang Mulia Raja menatap dua buah surat yang tergeletak di hadapannya. Yang kanan berasal dari Yushin dan yang kiri berasal dari Bi Dam.Keduanya sudah dibaca olehnya. “Yang Mulia..”panggil Kim Yong Chun yang sudah dari tadi memperhatikannya. “ya?” jawab Yang Mulia Raja. “hamba sudah meminta Kepala Pengawal Istana untuk menyatukan pasukannya bersama pasukan Bangsawan Bi Dam guna melindungi Seoraboel..” Yang Mulia Raja mengambil sebuah kertas kemudian mengambil kuasnya dan menulis. “sraak..” setelah menulis beberapa kata, ia meremas surat itu lalu membuangnya, kemudian mengambil kertas lagi, menulis, lalu meremas dan membuangnya lagi. Berulang kali ia melakukan itu. “aku ingin agar Shilla ini bisa terlindungin Paman, bukan hanya Seoraboel..” ujar Yang Mulia Raja sambil menulis. Kim Yong Chun pun hanya terdiam saja. Jumlah pasukan yang ada tak memadai untuk melindungi Shilla secara keseluruhan. Setelah menulis dan membuang kertas berulang-ulang, akhirnya Yang Mulia Raja mengakhiri tulisannya dalam kertas itu tanpa membuang kertas itu dan memasukkannya ke dalam amplop setelah surat itu diberi cap kerajaan olehnya. “kirimkan ini segera…” katanya sambil menyerahkan surat itu ke tangan pamannya. Kim Yong Chun terkejut melihat tulisan di amplop tersebut “ini untuk Kaisar Taizong?apakah Yang Mulia berniat untuk mengadakan aliansi?menggantikan Tuan Putri Deok Man bernegosiasi?” tanyanya. “tahukah Paman ketika aku belajar di Tang, aku belajar bersama-sama dengannya?” jawab Yang Mulia Raja. “tidak Yang Mulia..” jawab Kim Yong Chun. “kami berteman baik…bahkan setelah aku kembali ke sini, ia masih sering mengirimkan surat padaku..memintaku mengunjunginya di Tang…tapi semuanya berubah setelah kejadian itu…” “setelah kejadian itu?” tanya Yong Chun tidak mengerti.Yang Mulia Raja melanjutkan ceritanya “ya..setelah kejadian seorang pejabat Tang melecehkan Yang Mulia Ratu Seondeok…kesalahpahaman yang kemudian mengakibatkan hubungan Tang dan Shilla merenggang..rupanya itu membuat ayahnya marah dan meminta Taizong agar tidak mengirim surat untukku lagi dan memutuskan hubungan pertemanan kami…dan itu pun berlanjut sampai sekarang… ” “lalu jika demikian bolehkah saya tahu untuk apa Yang Mulia menulis surat ini?” tanya Yong Chun. Yang Mulia Raja hanya tersenyum kecil .
Kota Taejon, Shilla
“wah..baru pertama kali aku ke sini..” ujar In Seong sambil menatap para pedagang yang berjalan hilir mudik di sekelilingnya. Baek Ui hanya bisa menghela napas lega melihat In Seong sudah kembali ceria meskipun kesedihan di hatinya belum pulih semuanya. Di depan sebuah kedai, berdiri Jenderal Yesung yang mengenakan pakaian biasa sama seperti Baek Ui yang juga menyamar. Baek Ui pun berjalan menghampirinya “maaf telah membuatmu menunggu lama…ada hal penting yang ingin kusampaikan pada…” “Panglima bersama pasukan sedang dalam perjalanan menuju ke sini…” sergah Yesung tiba-tiba. “apa?apakah Panglima sudah tahu?” Baek Ui terkejut mendengarnya. Guna menghindari keramaian orang, mereka pun masuk ke dalam kedai. Sementara In Seong sedang asyik menikmati bubur ayam pesanannya, Yesung dan Baek Ui duduk berdiskusi. “apa maksudmu Panglima sudah tahu?lalu siapa bocah itu?kenapa kau membawanya kemari?” tanya Yesung. Baek Ui pun menceritakan kejadian yang dialaminya sebelumnya, awal dari pertemuannya dengan In Seong dan segala informasi yang didapatnya. Yesung mendengarkannya dengan seksama, dan sama seperti reaksi Baek Ui pertama kali mendengar itu, terkejut dan tercengang. “ja..jadi..Baekje berniat berperang melawan kita?” tanya Yesung yang masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Baek Ui mengangguk “dan untungnya Panglima sudah menyadarinya..aku baru saja mengirimkan surat untuknya kemarin..lebih cepat lebih baik…lalu apakah Panglima mengirimkan perintah untuk kita?” “Panglima meminta kita untuk berada di tempat sampai ia tiba di sini…kita harus tetap berada dalam penyamaran seperti ini…” jawab Yesung. Setelah selesai, mereka pun keluar dari kedai itu dan berpisah jalan. “Tuan..Tuan mau kemana?bukankah arah pulang kita ke sana?” tanya In Seong. Baek Ui tersenyum kecil “ada sesuatu yang harus kupastikan sebentar…” Namun jalan yang mereka lalui terhalang oleh sekerumunan penduduk. “ada apakah gerangan?” pikir Baek Ui. Ia dan In Seong berusaha menembus kerumunan itu. Rupanya mereka semua sedang berkerumun di depan sebuah papan pengumuman. Pengumuman mengenai pergantian jabatan Sangdaedeung dan Siburyeong. “Bangsawan Kim Yong Chun menggantikan Bangsawan Bi Dam menjabat sebagai Sangdaedeung dan Jenderal Baek Jong menggantikan Alcheon sebagai Siburyeong..ada apa dibalik ini semua?apakah mereka sedang bersiap berperang?” pikir Baek Ui. Ia pun berjalan keluar dari kerumuna itu. “apakah ada sesuatu yang terjadi di Istana?” pikir Baek Ui. Baek Ui berjalan sambil berpikir dan tanpa sadar menabrak seseorang yang berjalan menuju arahnya. “maaf..” ujar Baek Ui sambil memberi hormat dan ia terkejut begitu melihat siapa yang ditabraknya , begitu juga yang ditabraknya yang juga terkejut melihat Baek Ui. “kau?” ujar mereka bersamaan.
Siang hari
Benteng Bulcheon, Kota Taejon, Shilla
“ugh” Bi Dam perlahan membuka matanya. “dimana aku?” gumamnya pelan. “Tuan sedang berada di kamar Tuan…” jawab seorang laki-laki yang duduk di sampingnya. “siapa kau?” tanya Bi Dam. “hamba tabib yang ditugaskan untuk menjaga Tuan..Tuan menderita kelelahan hebat sehingga Tuan pun akhirnya jatuh…” jawab orang itu. “ugh…” Bi Dam berusaha mengumpulkan seluruh tenaganya untuk bangun dari tempat tidurnya. “Tuan..apa yang ingin Tuan lakukan?Tuan harus istirahat..” ujar tabib itu panik melihat Bi Dam meraih pedangnya dan pelan-pelan mencoba berjalan menuju pintu. “tubuhku memang lelah, namun tidak akan bisa beristirahat sampai Deok Man kembali ke sisiku…” gumam Bi Dam dalam hatinya sambil menepis tangan tabib yang berusaha menahannya “lepaskan..” Meskipun kepalanya masih pusing, Bi Dam tetap berusaha berjalan tegak. “sraak..” pintu di hadapannya terbuka. “Alcheon..Baek Ui..” gumamnya melihat dua orang yang berdiri di depan pintu itu.
Perbatasan Wonju. Kamp Militer Shilla
Wolya bersama kelima jenderalnya dan Seolji mengamati maket di hadapannya dengan tatapan serius. “kondisi alam mendukung kita agar Goguryeo tidak tahu bahwa ternyata jumlah pasukan kita lebih sedikit..” ujar Seolji. Wolya mengangguk dan menunjuk maket di hadapannya dengan tongkat miliknya “ya..tebing-tebing batu ini, menghalangi mereka untuk bisa melihat jumlah pasukan kita…tetapi kita pun juga tak bisa melihat mereka…daerah ini terlalu sempit sehingga tidak memungkinkan kita untuk membentuk formasi pasukan..” Salah satu jenderal lain ikut berpendapat “tak ada jalan lain..hanya di sisi ini dan ini yang lebih luas…” Kedua sisi yang ditunjuknya itu adalah wilayah terdekat dengan kamp militer Baekje dan wilayah terdekat dengan kamp militer Shilla. “jika situasinya seperti ini sepertinya kita akan menghadapi pertarungan jarak dekat nanti..” sahut jenderal yang lain. “persediaan pedang, tombak, dan perisai kita cukup memadai jika kita ingin melakukan pertempuran jarak pendek..akan tetapi, itu akan sangat merugikan kita..jumlah mereka lebih besar dari kita…setidaknya kita harus melakukan serangan besar dengan panah atau mungkin jebakan dari atas tebing-tebing ini..”ujar Seolji. Wolya masih terdiam berpikir sampai suara teriakan dari luar mengagetkannya dan yang lain. “Tuan..izinkan kami memberikan kami kepada Tuan Jenderal..” terdengar suara seruan laki-laki dari luar kemah. Wolya pun keluar dari kemahnya diikuti dengan yang lain. “ada apa?” tanyanya pada prajurit yang memberi hormat padanya. “ada seorang kakek dan cucu perempuannya yang masih kecil nekat memasuki wilayah kamp…katanya ingin menyerahkan sesuatu untuk Jenderal..kami sudah memintanya pergi..tetapi mereka maih saja memaksa masuk..” jawab prajurit itu. “dimana mereka sekarang?aku ingin bertemu dengan mereka?” tanya Wolya. Prajurit itu sempat heran sebelum ia mengantarkan jenderalnya itu ke tempat kakek dan cucunya itu berada. “Tuan..izinkan kami menyerahkan ini untuk Tuan Jenderal..” seru kakek itu sambil berlutut memohon bersama cucunya. “sudahlah kek..tidak mungkin kami mengantarkan dirimu masuk..pulanglah..” ujar seorang prajurit yang jongkok di dekat kakek itu. “tapi saya ingin menyerahkan ini kepada Tuan Jenderal..” jawab kakek itu sambil menunjuk ke bungkusan yang dibawa cucunya. Wolya melihat kakek itu dari kejauhan. Hatinya pun tergerak oleh rasa kasihan, ia teringat bagaimana kondisi penduduk Gaya saat masih berada di pembuangan. Wolya pun berjalan menghampiri kakek itu. “Tu..Tuan..” kakek itu tampak gembira melihat kehadiran Wolya dan jenderal yang lain. Wolya membalasnya dengan tersenyum ramah. “ada apa kakek datang ke sini?” tanya Seolji yang berdiri di samping Wolya. “ka..kami hanya ingin mengantarkan ini…” jawab kakek itu. Cucunya berjalan dan menyerahkan sebuah kotak yang terbungkus kain. “ini kotak bekal kan?” tanya Seolji begitu melihat isinya. “iya Tuan..saya dan penduduk sekitar mengirimkan bekal ini untuk Tuan..jika Tuan menyukainya..hamba bisa mengirimkannya setiap hari untuk Tuan dan para pasukan..” jawab kakek itu. “ini nasi dan daging apa?sapi kah?” tanya Seolji yang sudah membuka salah satu kotak bekal. “bukan Tuan.. itu daging banteng…daerah Wonju terkenal dengan banteng-bantengnya..kami semua di sini memeliharanya…” “wah daging banteng? enak sekali..” celetuk salah seorang prajurit. Wolya terdiam sejenak sebelum akhirnya wajahnya menunjukkan senyum kecil, seakan-akan pikirannya baru saja mendapatkan pencerahan. “berapa jumlah banteng yang kalian miliki?” tanyanya.
Benteng Bulcheon, Kota Taejon, Shilla
“jadi apa yang membawamu ke sini Jenderal Baek Ui?bukankah seharusnya kau berperang bersama Panglima Yushin di Wonju?” tanya Bi Dam yang duduk di meja bundar bersama Baek Ui dan Alcheon. “Panglima Yushin menduga ada sesuatu yang janggal dengan Baekje, sehingga mengirimku dan Jenderal Yesung kemari untuk mengawasi perbatasan…dan ternyata dugaanya benar…mungkin beberapa hari lagi Panglima Yushin beserta pasukannya akan tiba di dekat perbatasan..” Bi Dam mengangguk mengerti “ya..aku sudah menduganya..ia pasti akan membawa pasukannya ke sini..” mereka semua kembali terdiam. Baek Ui ingin menanyakan sesuatu yang tadinya ingin ditanyakan kepada komandan Benteng Bulcheon. Namun sebelum bertemu dengan komandan benteng, ia sudah bertemu dengan Alcheon lebih dulu. Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk menanyakannya “maaf Tuan…sebenarnya saya bertemu Alcheon hanya kebetulan saja…ada sesuatu yang saya harus pastikan dan tanyakan kepada komandan benteng ini…tapi setelah saya bertemu dengan Tuan..mungkin lebih baik saya menanyakannya kepada Tuan..” “mengenai apa?kehadiranku di sini?atau perubahan jabatan?” tanya Bi Dam. “yah..itu juga salah satunya tetapi bukan itu…ini berkaitan dengan…” “Baek Ui ragu-ragu mendengarnya. “jangan-jangan mereka belum tahu..” pikirnya. “tentang apa?” tanya Bi Dam. “tentang Tuan Putri Deok Man..”
Mendengar itu, tiba-tiba Bi Dam beranjak dari tempat duduknya dan mengguncang-guncang bahu Baek Ui “apa?apa yang kau ketahui tentang Putri Deok Man?apa kau tahu sesuatu?” Baek Ui dan Alcheon terkejut melihat reaksi Bi Dam itu. “te..tenang Tuan..” Baek Ui meminta Bi Dam untuk kembali ke tempat duduknya. “saya harap Tuan Putri tidak mengalami sesuatu yang buruk..akan tetapi…” Baek Ui pun mulai menceritakan hal-hal yang didengarnya dari In Seong.
Istana Ungjin, Bakje.
“selamat tidur Yang Mulia…” gumam Perdana Menteri Lee tersenyum licik menatap Raja Uija yang terbaring tak berdaya di tempat tidurnya seperti orang yang menderita kelumpuhan total. "kk..kau" gumam Raja Uija dengan susah payah. Lee memberikan botol kecil yang dipegangnya kepada tabib yang berdiri di dekatnya "berikan ini kepada Yang Mulia setiap pagi dan sore.." "baik Tuan.." jawab tabib itu. "dengan begini pengganggu pun sudah tak tersisa lagi..aku harus memberitahu Tuan Daemusin kabar gembira ini.."
Sore hari.
Kota Taejon, Shilla
Bi Dam, Alcheon, dan Baek Ui beserta In Seong berjalan menuju lapangan luas, tempat pemakaman penduduk kota Taejon. Mereka berempat berjalan melewati makam-makam sebelum akhirnya tiba di depan sekelompok makam yang nampak masih baru. “kami memakamkannya di sini..” kata Alcheon sambil menunjuk makam yang di tengah. In Seong jatuh berlutut di depan makam itu. “ibuuu…” isaknya sambil memeluk nisan tak bernama itu. Bi Dam, Alcheon, dan Baek Ui hanya bisa terdiam membiarkan In Seong meluapkan tangisnya. Setelah menghentikan tangisnya, In Seong berdoa di depan makam ibunya. “ibu..aku pasti akan membalaskan kematian ibu..” gumamnya setelah mengakhiri doanya. Bi Dam memetik sejumput bunga liar yang ada di dekat situ lalu memberikannya kepada In Seong. “te..terima kasih Tuan..” gumam In Seong, ia lalu menaruh bunga itu di bawah nisan ibunya. Bi Dam merasa empati terhadap In Seong. Ia merasa dirinya memiliki kesamaan dengannya. Sama-sama kehilangan orang yang sangat dicintai oleh orang yang sama. Kedua tangannya mengepal erat penuh amarah.
Malam hari
Benteng Hwangsanbeol, Baekje
"siapa kau?tunjukkan pengenalmu!" seru seorang prajurit penjaga gerbang. Seung Won tersenyum sinis dan mengeluarkan tanda pengenalnya. Sebuah medali perunggu. "aku ke sini atas perintah Tuan Daemusin..untuk membawa budak dan tahanan.." ujar Seung Won sambil menunjuk ke arah gerobak yang dijaga oleh bawahannya. Gerobak tersebut membawa 2 kotak berterali besi, yang nampak seperti 2 buah penjara kecil. Prajurit itu melihatnya sebentar lalu memberi hormat "maafkan saya Tuan…saya akan segera membukakan pintunya.." Prajurit itu memerintahkan gerbang dibuka “braak..” Seung Won melangkah masuk diikuti para bawahannya. Salah seorang bawahannya menghampirinya “Tuan…kemanakah kami harus membawa orang-orang ini?” tanyanya. Seung Won berjalan mengelilingi gerobak yang didorong oleh para bawahannya itu. “bawa mereka ke penjara sisi timur laut…” ujarnya sambil menunjuk kotak berterali besi yang pertama. Dan begitu ia melihat kotak yang kedua “tetapi yang ini…ada tempat tersendiri untuknya..” sambil tersenyum penuh kemenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar